Fenomena fast fashion telah menciptakan masalah baru bagi lingkungan, mulai dari tahap produksi, konsumsi, dan limbah. United Nations Environment Programme (“UNEP”) mencatat bahwa industri fesyen telah menyumbang 8-10% emisi karbon secara global, lebih tinggi daripada emisi yang dihasilkan oleh industri penerbangan dan perkapalan. Kebutuhan industri ini akan sumber daya alam, seperti air, energi, dan bahan baku lainnya dalam jumlah besar juga merupakan ancaman nyata bagi kelestarian lingkungan.
Pada tahap produksi, industri ini menyumbang 20% air limbah global yang dihasilkan dari penggunaan 42.534 ton plastik dalam satu tahun untuk produksi tekstil sintetis. Pada tahap konsumsi, terdapat serat mikro yang dihasilkan dari proses pencucian setelah penggunaan dan berakhir sebagai limbah plastik di lautan. Permasalahan lain terjadi pada tahap pasca penggunaan dengan menumpuknya sampah fesyen, Indonesia tercatat menghasilkan 2,3 juta ton sampah fesyen per tahun 2021.
Permasalahan di atas jelas menjadi ancaman bagi Indonesia sebagai salah satu negara destinasi pilihan para pelaku industri fast fashion yang membuka pabrik untuk memperluas kebutuhan produksi. Oleh karena itu, Kementerian Perindustrian (“Kemenperin”) berkomitmen untuk mengimplementasikan Sustainable Fashion dan Circular Economypada industri fesyen di Indonesia. Melalui konsep ini diharapkan berdampak positif terhadap lingkungan, efisiensi dan keberlanjutan dari sumber daya alam.
Sebagian kecil dari komitmen tersebut telah dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Sektor Industri. Regulasi lain yang membahas isu limbah tekstil tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2019. Sementara untuk regulasi yang mengatur tanggung jawab industri fesyen terkait baku mutu air limbah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor P.16/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019.
Penulis ; Delpedro Marhaen, S.H.