Masyarakat Indonesia pada 11 Februari 2024, ramai memperbincangkan film dokumenter Dirty Vote yang di dalamnya melibatkan tiga orang akademisi Ahli Hukum Tata Negara ternama yaitu Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Fery Amsari. Ketiga akademisi Ahli Hukum Tata Negara tersebut menjelaskan adanya berbagai kecurangan pada tahapan-tahapan penyelenggaraan pemilu 2024 yang telah terjadi di Indonesia dengan menggunakan analisis ilmu pengetahuan/keahlian masing-masing, kaidah-kaidah hukum, asas-asas hukum, termasuk peraturan perundang-undangan hingga menyimpulkan penilaian bahwa telah terjadi kecurangan selama proses penyelenggaraan pemilu 2024.
Jika memperhatikan film dokumenter Dirty Vote, memang banyak mengulas berbagai dugaan kecurangan tahapan penyelenggaraan pemilu 2024 dari kelompok Tim Kampanye Nasional (“TKN”) 02 Prabowo-Gibran, namun tidak secara mutatis mutandis bahwa film Dirty Vote memihak kepada pasangan calon presiden lainnya yaitu Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud. Berjarak sekitar 2 jam pasca rilis film dokumenter Dirty Vote, TKN 02 Prabowo-Gibran langsung menanggapi film dokumenter Dirty Vote, dimana salah satu tanggapannya adalah pada intinya menyatakan bahwa Dirty Vote bernada fitnah, pembuat Dirty Vote adalah orang yang tidak suka melihat elektabilitas Prabowo-Gibran terus meroket tembus batas psikologis satu putaran 50% plus 1 suara.
Apakah perbuatan tiga orang akademisi Ahli Hukum Tata Negara dalam film dokumenter Dirty Vote tersebut dapat dikualifikasikan sebagai fitnah sebagaimana diatur dalam Pasal 27A Undang-Undang ITE No. 1 Tahun 2024?
Penulis : M. Al Ayyubi Harahap, S.H.